Bahaya Narkoba

Editor: KONTRUKTIF.com author photo

Shohibul Anshor Siregar
DETEKSI.co - Membaca berita dari DPRD Provinsi Sumatera Utara hari ini, saya teringat beberapa tahun lalu memberi masukan akademis kepada Lembaga legislatif daerah itu saat di sana sedang berlangsung pembahasan sebuah Rancangan Peraturan Daerah (Perda) untuk menghadapi bahaya narkoba, Tulisan ini bertolak dari naskah akademik yang saya sampaikan beberapa tahun lalu dalam perumusan perda dimaksud.

Ketika diskusi “Menggelorakan Perang Terhadap Narkoba”, yang diprakarsai oleh Serikat  Pengacara Indonesia (SPI) Kota Medan dan Gerakan Nasional Anti Narkoba (Granat) Kota Medan tahun 2016 lalu, saya menegaskan pendirian saya sebagai berikut:

“Salah satu langkah penting mengikuti kondisi darurat narkoba saat ini ialah melibatkan TNI dibantu oleh instansi-instansi lain, misalnya dengan membentuk sebuah satuan operasi berjangka pendek yang secara langsung bertanggungjawab kepada presiden.”

Saya menyadari keterperangahan banyak orang ketika itu, tetapi tak satu pun yang berusaha membantah. Kesimpulan itu saya ikuti dengan beberapa kerangka berfikir sebagai berikut: Pertama, mutlak pentingnya menghitung kebutuhan konsumsi narkoba nasional. Tanpa menghitungnya, perang terhadap narkoba adalah sebuah upaya sia-sia.

Kedua, integritas aparatur penegak hukum dalam perang terhadap narkoba. Banyak kejadian yang menjadi kisah legendaris yang menunjukkan kadar integritas yang amat lemah petugas resmi perlawanan terhadap narkoba yang justru berbalik gagang menjadi perisai utama.

Ketiga, masalah regulasi tentang narkoba. UU Nomor 35 tahun 2009 telah mencontohkan sebuah kenaifan dengan mencantumkan daftar narkoba pada lampiran yang menjadi bagian dari UU itu. Dipastikan bahwa tak sampai sehari setelah ditetapkannya UU itu, daftar peredaran narkoba di Indonesia dijamin sudah berubah. Muncul kecurigaan besar, apakah UU ini juga dikendalikan oleh para raja narkoba.

Keempat, partisipasi sosial masyarakat dalam perang terhadap narkoba. Di banyak Negara tak terkecuali Indonesia, partisipasi formal diatur sedemikain rupa. Namun, mereka berada pada garis demarkasi yang diciptakan sedemikian rupa untuk tidak boleh memasuki wilayah sesungguhnya. Mereka tak ubahnya ornamen yang dari segi tampilan mungkin saja seperti sungguh-sungguh. Namun, kenyataannya tidak demikian.

STAND POINTS
Jika ada kejujuran, sebetulnya sudah sejak lama kita wajib mengaku kalah sekalah-kalahnya hingga tak berdaya terhadap narkoba. Lawan kita dalam perang ini sudah “memerintah” setelah meluluh-lantakkan segala kewibawaan yang kita miliki. Kita telah menjadi budaknya. Karena itu, berangkat dari kekalahan yang fatal, ingin digelorakan kembali perang terhadap narkoba.

Apa sajakah modal yang kita miliki untuk menggelorakan perang itu? Pertanyaan itulah yang membuat saya mengajukan arah pemikiran anti-mainstream dan dengan itu saya berharap setiap orang tak lagi berfikir pada rel-rel kaku yang lazimnya tanpa kesediaan memasuki pendiskusian secara kritis akar masalah.

Memang, saya sudah lama sangat pesimistik. Terlalu banyak ketidak-jujuran. Banyak diskusi tentang pemberantasan narkoba yang berlangsung hanya seperti pembicaraan di awang-�awang saja, atau bahkan seperti membungkus masalah lebih tersembunyi dengan mitos�-mitos menyesatkan.

Menurut saya, menggelorakan perang terhadap narkoba wajib dimulai dengan menghitung data kebutuhan
konsumsi narkoba secara nasional. Berapa ton pertahun? Berapa rata-rata konsumsi perorang? Berapa rata-rata pengeluaran perorang? Ilmu pengetahuan sudah sampai sejauh ini, jangan ada yang mengelak tak mampu melakukannya.

Jika Bulog mampu menghitung kebutuhan nasional untuk semua jenis pangan seperti kacang kedelai, beras, terigu, gula dan lain-lain, maka kebutuhan nasional narkoba juga mestinya bisa dihitung, meski proses dan caranya lebih sulit. Tetapi mengetahui kebutuhan nasional narkoba bermakna mengetahui sebaran industri, industriawan dalam dan luar negeri, jaringan pemasaran, kantong-kantong pengguna, nilai peredaran uang, dan lain sebagainya.

Proyeksi kejadian lost generation yang akan dialami oleh Indonesia pada tahun-tahun mendatang pun bisa dibuat lebih akurat dengan data-data itu. Saya tak bisa sama sekali melukiskan konyolnya sebuah perang jika kita tidak tahu sama sekali informasi tentang kekuatan musuh. Karena itu, cerita perang melawan narkoba selama ini hanyalah sandiwara yang sangat naïf. Tidak ada satu komponen bangsa pun yang pernah serius  untuk itu.

Pepatah lama tetaplah berlaku, bahwa jika musang sudah berbulu ayam, bahayanya sangat dahsyat. Kemudian kita tentu saja tidak mengharapkan tumbuh-suburnya keleluasaan yang makin besar para pengendali narkoba dunia dan nasional akibat lemahnya hukum. Hal-hal seperti ini menjadi domain yang seharusnya menjadi salah satu wilayah tempur yang sangat penting dan serius bagi para legislator seperti Trimedya Panjaitan dan Junimart Girsang.

Adapun partisipasi sosial masyarakat dalam perang terhadap narkoba secara sungguh memerlukan perombahan untuk perkuatan. Tetapi adalah hayalan yang aneh mengharapkan partisipasi sosial jika aparatur tidak berbenah dan berlaku jujur sejujur�jujurnya.

KOMPLEKSITAS MASALAH

Suatu ketika, pada tahun 2001, Michael Wooldridge, mantan menteri kesehatan Australia, begitu kesal dan tak mampu menyembunyikan kekecewaannya bahwa perang terhadap narkoba dengan pendekatan hukum yang membukukan catatan kegagalan. Sekaitan dengan itu, Justin B Shapiro dengan tegas mengatakan bahwa menuntut para penyalahguna dan pecandu narkoba, akan menghambur-hamburkan sumber-daya penegakan hukum.

Selain itu dipastikan akan selalu mendorong timbulnya korupsi bagi  penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan  dan para Hakim untuk semua level). Diakui atau tidak, praktik buruk “jual-beli” pasal-pasal hukum untuk memosisikan setiap orang (tersangka pengedar dan gembong narkoba) sebagai pengguna tidak dapat dihindarkan. Sudah menjadi rahasia umum.

Tidak ada kekuatan apa pun di Indonesia yang mampu memperbaiki masalah ini. Sekaitan dengan itu Antonio Maria Costa dari United Nations Deputy Secretary General and Executive Director of the UNODC United Nations Office on Drugs memang pernah mengatakan bahwa penegakan hukum yang tidak berbasis integritas sosial terhadap narkoba menyebabkan mereka (aparat) menjadi prajurit sindikat narkoba.

Dalam catatan internasional pastilah orang mengingat bahwa lebih dari 40 tahun lalu Amerika di bawah kepemimpinan Presiden Nixon begitu gencar melakukan perang terhadap narkoba. Tetapi masyarakat internasionak mencatat hasilnya sangat mengecewakan.

Amerika ternyata tak mengejar dan tak pernah menghancurkan kartel, tetapi selalu senang berkutat pada
pecandu-pecandu atau jaringan remeh temeh belaka.

Pernyataan-pernyataan di atas itu terasa begitu identik
dengan pengalaman sehari-hari di Indonesia. Sebelumnya David T Courtwright pernah mengajukan keyakinanya bahwa masalah supply-lah yang menjadi akar masalah perang terhadap narkoba. Sayangnya, rintangan utama dalam strategi supply reduction dalam menghadapi penyelundupan narkoba ialah tingginya jumlah uang yang beredar dan yang dihasilkan oleh narkoba.

Uang tersebutlah yang digunakan untuk “membeli” petugas, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk mengamankan proses budidaya, produksi dan distribusi (marketing) narkoba.  Kesimpulan ini terasa pahit sekali, tetapi benar dan tak terbantahkan. Mantan Menteri Kesehatan Australia suatu ketika mengeluh begini:
“Kita memiliki lebih 4 dasawarsa pengalaman dalam perang melawan narkoba dengan pendekatan hukum, dan ternyata semua itu gagal total”.

OBSESI INDONESIA

Sejarah perang atas narkoba sudah berusia cukup Panjang di Indonesia namun hasilnya  sukar untuk dibanggakan, jika tidak dipenuhi oleh catatan buram belaka. Kini bahkan Indonesia dipandang sebagai salah satu surga bagi pecandu dan pengedar narkoba di dunia.

Era Presiden SBY

Di Indonesia pernah ada sebuah gambaran optimisme yang belakangan amat tak berdasar, ketika tahun 2011 Jenderal Polisi Gorris Mere diberi amanah untuk memegang kendali  pemberantasan narkoba. Waktu itu ia menegaskan bahwa BNN meyakini Indonesia akan bebas dari narkoba pada tahun 2015.

Ini katanya: “Setelah berhasil menyusun Jakstranas P4GN ini kami meyakini bahwa pada tahun 2015 negara Indonesia bebas narkoba”.

Apakah yang kita saksikan dan kita alami sekarang sesuai dengan janji? Menurut Presiden SBY waktu itu, salah satu faktor kesulitan ialah masyarakat kurang bisa membedakan mana yang tergolong sebagai korban, siapa-siapa yang dikatakan sebagai penjahat narkoba, meski pun sebenarnya hulu masalah bukan pada klasifikasi itu, meski pun memang itu sangat diperlukan.

Lebih dari itu, malah ucapan Presiden SBY tampaknya hanya sebuah argumen legitimasi politik atas perlunya lembaga rehabilitasi untuk pengguna, bukan perang melawan narkoba. Tampak scenario dikendalikan kekuatan jaringan yang berada pada kendali pihak asing.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tahun 2013 Presiden SBY berucap satu masalah di tengah masyarakat, yakni sulitnya membedakan mana pengguna atau pencandu dan mana penjahat narkoba. Ungkapan itu kemudian dicurigai mengarah pada sebuah permissiveness (pemaafan) untuk merealisasikan pembentukan  badan khusus penyelenggara rehabilitasi korban narkoba (pecandu), dan ini adalah perintah UU Nomor 35 Tahun 2009 (pasal 54, 55, 103 dan 127) dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: 4 Tahun 2010. Meski pun bagi saya hal ini sangat terkesan sebagai sebuah pemanjaan bagi pecandu, sembari menjauhi pokok masalah yang sesungguhnya, tetapi kelihatannya itu memang trend internasional, dan Indonesia tunduk pada trend itu.

Era Presiden Joko Widodo

Pada bulan Januari 2015 saat meresmikan Masjid Raya Mujahidin Pontianak-Kalbar, Presiden RI Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia berada dalam status darurat narkoba. Ada bahasa yang tegas dari Presiden:  “Tidak ada maaf bagi pelaku narkoba di negeri ini. Saya juga banyak tekanan dari sana dan sono. Tapi sekali lagi, kita memang berada pada posisi darurat narkoba".

Presiden tahu bahwa dampak negatif narkoba tidak hanya merasuk ke lingkungan anak�-anak muda, tetapi juga institusi-institusi. Baik sekali pernyataan Presiden tentang darurat narkoba itu. Namun sesuatu yang darurat mestinya diikuti oleh langkah darurat pula. Sebagaimana ditunjukkan oleh Duterte, sikap nasional sebuah negaralah yang menentukan ritme dan jenis serta efektivitas perang terhadap narkoba. Sukar dibayangkan adanya wilayah bebas narkoba tanpa sebuah sikap nasional yang melampaui kewibawaan regulasi biasa.

Langkah kedaruratan itu yang  ditunggu dari Presiden dan hingga kini tidak pernah muncul. Presiden Filipina Rodrigo Duterte terus-menerus menegaskan pembelaannya atas kebijakan "pembunuhan" yang diambilnya dalam memberantas peredaran narkoba di negara yang dipimpinnya. Duterte menyebut bahwa ancaman pembunuhan yang ditindak-lanjuti dengan tindakan tegas dan terukur merupakan langkah yang sempurna.

Hingga tahun 2016 saja tercatat telah lebih dari 3.700 orang yang diduga terlibat dalam peredaran maupun penggunaan narkoba tewas dibunuh di negeri itu. Angka itu tercapai hanya dalam hitungan beberapa bulan sejak Duterte memimpin meski mantan Wali Kota Davao ini mendapat sorotan dan bahkan kecaman dari dunia internasional.

Sorotan dan kecaman setidaknya datang dari Amerika Serikat, Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-bangsa, hingga lembaga internasional pembela hak asasi manusia. Duterte tak gentar dan bahkan semakin menjadi. Bandar yang menjadi target ratusan ribu menyerahkan diri. Duterte pun angkat bicara:
"Saya tak akan berhenti. Saya dapat pastikan itu. Saya tak akan berhenti sampai  semua tuntas, sampai bandar narkoba terakhir di Filipina mati”.

SATUAN OPERASI BERJANGKA PENDEK

Salah satu langkah penting mengikuti kondisi darurat narkoba  saat ini ialah melibatkan TNI dibantu oleh instansi-instansi lain, misalnya dengan membentuk sebuah satuan operasi berjangka pendek yang secara langsung bertanggungjawab kepada presiden.

Satuan tugas berjangka pendek itu difokuskan untuk bekerja cepat: Pertama, menghitung kebutuhan konsumsi narkoba nasional dan setelah itu bertempur untuk memangkasnya hingga titik terendah. Kedua, menertibkan seluruh aparatur penegak hukum yang selama ini diduga telah menjadi kekuatan tersembunyi di balik kompleksitas masalah narkoba di tanah air. Ketiga, melakukan kajian dan merumuskan RUU pemberantasan narkoba yang baru. Keempat, mengkaji dan mengajukan model partisipasi sosial masyarakat dalam perang terhadap narkoba. Kelima, membuat kajian dan rencana pendirian PTPN khusus dengan komoditi  ganja di Aceh dan di daerah-daerah lain yang memiliki kesamaan alam dengan Aceh.

Bagaimanapun juga masalah ganja telah banyak memerosotkan moral bangsa,  padahal jika dimanfaatkan untuk kebutuhan industri yang akan memproduk berbagai barang (goods) kebutuhan masyarakat, akan dapat menjadi penyumbang bagi pendapatan Negara dan perbaikan ekonomi rakyat.

PENUTUP

Ketika hadir untuk Milad Harian Waspada tahun 2015, mantan Perdana Menteri Malaysia Dato Mahathir Mohammad ditanyai oleh seorang anggota Kadinda Sumatera Utara sekaitan dengan data tingginya frekuensi dan jumlah narkoba yangdiseberangkan dari Malaysia ke Indonesia. Sambil menjelaskan besaran uang yang beredar dalam pasar narkoba, penanya itu ingin sikap tegas dari Mahathir Mohammad.

Dato Mahathir Mohammad hanya mampu berkeluh kesah, bahwa Malaysia dan Indonesia hanyalah dua dari banyak Negara yang saat ini benar-benar kewalahan atas bencana mendunia narkoba ini. Terbersit pesan dari jawaban itu bahwa jagalah negaramu, jangan cuma pandai membuat tudingan kepada Negara lain. Buatlah  aturan main di dalam negerimu sesuai adat kebiasaan dan nilai-nilai yang sesuai pula dengan daya dukung bangsamu untuk keberhasilan perang melawan narkoba.

Jangan tunduk kepada kemauan asing yang mana pun, yang belum tentu berniat baik untuk sejumlah tawaran kerjasama yang mereka ajukan termasuk dalam perang terhadap narkoba.

Sesuai pernyataan Presiden Jokowi, saat ini  Indonesia berada dalam darurat narkoba. Kedaruratan itu mestinya dihadapi dengan langkah setara (darurat) juga. Salah satu bentuk kedaruratan itu ialah perlunya dibentuk satuan operasi khusus berbasiskan kekuatan militer yang dibantu oleh instansi lain untuk melancarkan perang yang terukur sebagaimana telah saya jelaskan di atas.

Penulis, Shohibul Anshor Siregar

Share:
Komentar

Berita Terkini