Pemanggilan pihak manajemen rumah sakit Bunda Thamrin ini disebabkan adanya pengaduan masyarakat mengenai penahanan jenazah seorang pasien inisial AA yang meninggal dunia setelah tujuh (7) hari dirawat dirumah sakit itu akibat menderita penyakit pecah pembulu darah.
Hadir pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) tersebut Ketua Komisi II DPRD Kota Medan, Suriyanto (Butong) dan Harris Kelana Damanik (anggota komisi II), keduanya dari Fraksi Partai Gerindra Medan, dan mewakili OPD antara lain, Dinas Lingkungan Hidup Kota Medan, Herbet Gultom, Disnaker Medan, Novita Sari Ginting, Dinkes Medan, dr.Mardohar Tambunan, BPJS Kesehatan, Supriyanto dan dari pihak Rumah Sakit Bunda Thamrin, Hendra Wibowo,SE, dr.Herly,M.Kes. dan dr Purnama Simanjuntak.
Harris Kelana Damanik mengatakan dia selaku anggota Komisi II DPRD kota Medan sangat menyayangkan sekali mendapati langsung pelayanan rumah sakit Bunda Thamrin yang dinilai terlalu mementingkan bisnis ketimbang nilai-nilai sosial. Padahal, tambah Harris, pihak keluarga pasien ditengah kebingungan masih berupaya bagaiaman agar AA yang dirawat mendapat pertolongan maksimal.
"Setelah pasien (Alm.AA) meninggal dunia, pihak keluarga sepertinya terkendala biaya perawatan Almarhumah selama tujuh (7) hari mencapai sampai Rp157 juta dan saat biaya yang sudah dikeluarkan mencapai Rp.90 juta. Sehingga setelah pasien meninggal dunia, maka pihak keluarga diharuskan melunasi kekurangannya, jika ingin jenazah di keluarkan dan dibawa kerumah duka," ungkap Harris.
Dimana hati nurani pihak Rumah Sakit, sambung wakil rakyat dari dapil II Kota Medan ini, ketika pasien tidak mampu membayar biaya rumah sakit. " Untung saja, pasien orang mampu, bagaimana jika yang dirawat orang tidak mampu, apa pihak rumah Sakit tetap ngotot agar pasien harus membayarkan," jelasnya.
Ketua Komisi II, Suriyanto pada kesempatan itu melihat adanya pelayanan yang tidak maksimal terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit milik swasta tersebut, sebab, pelayanan maksimal diberikan ketika pasien dipastikan memiliki kemampuan secara finasial terlebih dahulu. Ini dapat dibuktikan ketika keluarga Alm.AA berusaha untuk mengeluarkan jenazah dari rumah sakit, namun pihak rumah sakit tidak memberikan dengan alasan terlebih dahulu melunasi kewajiban.
"Saya sudah katakan saat itu, bahwa untuk urusan administrasi bisa saja dilakukan dibelakang, namun jenazah pasien mesti di dahulukan, karena memang saat itu sudah malam dan tidak ada yang membawa uang kontan sebesar puluhan juta," katanya.
Suriyanto pun heran, ketika mengetahui rumah sakit Bunda Thamrin tidak lagi menjadi provider BPJS Kesehatan. Pasien AA yang masuk dan dirawat di rumah sakit Bunda Thamrin memiliki BPJS Kesehatan, namun tidak dapat digunakan dirumah sakit Bunda Thamrin.
Sementara dari pihak rumah sakit Bunda Thamrin, dr.Purnama Simanjuntak, kepala bidang medik dan keperawatan di rumah sakit tersebut menjelaskan, pada awalnya pasien masuk dalam keadaan gawat darurat. dan diberikan oleh petugas kami di instalasi gawat darurat. Dan saat itu tidak ada membicarakan pembiayaan. Namun ketika dilakukan pemeriksaan diketahui saat itu harus dilakukan tindakan operasi besar lanjutan yang harus dilaksanakan saat itu.
"Pihak rumah sakit sudah memberikan penjelasan kepada keluarga inti (ayahanda dan ibundanya) bahwa rumah sakit belum lah lagi menjadi provider BPJS Kesehatan karena sejak tanggal 1 April 2020, kontrak kerjasama rumah sakit kami sudah berakhir, dan sudah di informasikan dengan masyarakat untuk sementara waktu rumah sakit Bunda Thamrin belum lagi menjadi provider BPJS Kesehatan. Kita juga mengikuti Permenkes yang mengatur hak dan kewajiban pasien dimana berhak mendapatkan informasi tentang biaya pelayanan yang harus dituruti," ujarnya.
Sambung dr Purnama lagi, biaya untuk operasi saja diinformasikan berkisar Rp.30an juta diluar biaya lainnya. Pasien juga diberikan kesempatan untuk memberitahukan kemampuan finansialnya. " Dan pihak keluarga pasien menyanggupinya dan menerima pelayanan kami yang tidak memakai BPJS Kesehatan. Operasi pun berjalan lancar sekitar pukul 00 WIB s/d 01 WIB," ujarnya.
dr.Purnama pun mengaku tidak ada bicara pembayaran terlebih dahulu barulah operasi dilakukan. Rumah Sakitpun selalu memberikan informasi pelayanan kepada keluarga pasien.
"Dari pihak keluarga memang ada melakukan pembayaran secara rutin. Sampai akhirnya pasien meninggal dunia di hari Kamis malam. Memang petugas kami ada mengatakan untuk menunda melakukan pembayaran ke esokan harinya. Petugas mengatakan pasien ada hak dan kewajiban, pasien diberikan haknya tentu rumah sakit juga memiliki hak. Malam itu juga administrasi pembayaranpun disanggupi," ujarnya.
Rumah sakit tidak ada menahan jenazah dr.Purnama Simanjuntak mengatakan meluruskan dulu arti kata menahan jenazah. Dia mengatakan tidak ada tujuan pihak rumah sakit untuk menahan jenazah. "Tidak ada bahasa yang mengatakan bahwa kalau tidak dibayar maka jenazah tidak kami izinkan. Dan defenisi menahan itu seperti apa, dari sejak pasien meninggal hingga dibawa rentan waktunya dua jam, dan itu pun proses nya tidak ada yang diperlambat. Namun jika keluarga pasien mengatakan tidak memiliki biaya lagi dan kami selaku pihak rumah sakit menahan jenazah pasien berjam-jam barulah kami dapat dikatakan menahan jenazah," jelasnya.
dr.Purnama juga mengaku malam itu semua administrasi sudah langsung dibayarkanoleh pihak keluarga pasien. " Saya mengangap pada malam itu, ada miskomunikasi saja antara petugas nakes kami dan keluarga pasien," tutupnya.(Pea)